Tuesday, September 11, 2018

Ulang Tahun Pernikahan Mama dan Papa ke-24

"Oh, these storms I know,
These battles of the snow,
The scars, they start to show,
While learning how to love"
-Caleb Chapman-

Hari ini pernikahan Mama dan Papa memasuki usia 24 tahun. Aku sudah menelfon mereka untuk mengucapkan selamat hari jadi siang tadi. Ternyata mereka sedang dalam perjalanan mengantarkan barang pesanan yang tertukar dengan milik orang lain. Papa yang menyetir, Mama yang mengangkat telfon.

Tapi sepertinya Mama memasang loudspeaker sehingga suaraku juga dapat didengar oleh Papa. Setelah aku mengucapkan selamat, mereka menanyakan rencana perjalananku ke India akhir September ini. Bisa kudengar dari nadanya, mereka sungguh senang sekaligus khawatir tentang persiapanku sebelum berangkat ke India. Ya, Mama dan Papa memang seperti itu, dibalik kegembiraan yang mereka pancarkan sering juga terselip kekhawatiran untuk melepas anaknya sendirian ditengah hiruk pikuknya dunia.

Kutebak, Mama dan Papa-mu juga begitu 'kan? Ketahuilah itu bentuk kepedulian mereka kepadamu. Kau tahu, Mama pernah bilang begini kepadaku, "Mama selalu membayangkan wajah mungilmu saat kamu berusia 1,5 tahun - pertama kalinya Mama membawamu ke Jakarta. Cara berjalanmu kala itu lucu sekali, entah mengapa setiap Mama mendengar rencana perjalananmu, Mama tidak bisa lepas dari bayangan anak umur 1,5 tahun yang akan berjalan memasuki kerasnya dunia".

Aku mengerti jika kalimat itu keluar dari mulut seorang ibu. Bagaimanapun, selagi ia masih sanggup, ia akan mengurusimu, itu sudah menjadi naturnya. Cobalah olehmu sendiri, lahirkanlah seorang anak, besarkan ia dengan baik dan dengan tanganmu sendiri, maka kamu akan mengerti.

Lalu bagaimana dengan Papa? Secemas-cemasnya ibumu, jika kamu adalah seorang anak perempuan maka ayahmu lah yang pasti akan lebih mencemaskanmu. Meski aku sendiri tidak dapat melihat kecemasannya, namun Mama selalu mengatakan bahwa Papa kerap menanyakan kabarku, menanyakan apa rencanaku, bahkan menyuruh Mama untuk menelfonku - meskipun sebenarnya bisa ia lakukan sendiri. Begitulah caranya menjadi seorang yang begitu peduli padamu.

Omong-omong, begini cerita tentang perjalanan rumah tangga kedua orang tuaku. Mereka menikah di usia yang sedikit terlambat dibandingkan rata-rata usia teman-teman mereka yang sudah menikah saat itu. Mama dan Papa sendiri memiliki pertikaian usia 4 tahun. Saat itu, Mama berusia 28 tahun dan Papa berusia 32 tahun. Kisah cinta mereka cukup unik, berawal dari pertemuan mereka di kampus, saat itu Papa sudah di penghujung studinya dan Mama baru memasuki dunia perkuliahan. Suatu hari, Mama meminta tolong untuk ditunjuki cara membuat tugas/laporan tertentu kepada salah satu teman Papa. Menyadari kompetensi yang dimilikinya, teman Papa kemudian menyuruh Mama untuk meminta tolong kepada Papa saja, karena Papa lebih menguasai topik tersebut. Jadilah, Papa membantu tugas Mama dari A-Z.

Tidak banyak yang sadar, bahwa Papa sudah tertarik kepada Mama sejak awal. Namun, menurut cerita Papa, ia tidak punya nyali untuk mendekati Mama saat itu. "Minder, Kak", seperti katanya. Minder, karena ia merasa tidak sekaya Mama yang merupakan anak pejabat (meskipun sebenarnya Mama tidak pernah hidup seenak yang dibayangkan orang lain). Minder, karena Papa tidak begitu populer sementara Mama memiliki teman sepergaulan yang dikenal sebagai "diva" kampus kala itu, minder, karena Papa pun aslinya bukan dari kota, melainkan dari daerah. Banyak lagi, minder-minder lain yang Papa rasakan, namun satu hal yang dapat dijadikannya senjata: intelijensinya. Jujur, Mama pernah terang-terang bilang padaku bahwa ia lebih tertarik kepada sosok yang pintar dan Papa terkenal dengan kepintarannya. Ditambah lagi sikap Papa tidak berlebihan, humble, cenderung pendiam, lucu, dekat dengan keluarga, dan baik ibadahnya.

Entah berapa lama sampai akhirnya mereka memutuskan untuk berpacaran. Seingatku dari cerita mereka, hubungan itu pun mereka bina saat mereka sudah bekerja. Kebetulan, mereka memasuki tempat kerja yang sama. Tidak banyak juga yang tahu saat itu bahwa mereka berpacaran. Mereka bukanlah tipe yang koar-koar, apalagi publikasi. Berbeda sekali dengan generasi kita saat ini yang senang menggunakan media sosial untuk posting foto dengan pacar. Menurut Mama dan Papa, selain karena saat itu belum ada media sosial, mereka lebih senang jika hubungan yang mereka jalankan tidak menjadi konsumsi untuk dibicarakan orang lain.

Gaya pacaran mereka pun unik, jarang sekali sepertinya mereka pergi berduaan saja di akhir pekan. Papa selalu menjemput Mama di rumah dan mengajak Kakek untuk ikut berjalan dengan mereka. Mungkin melalui keterbukaan inilah, Kakek dengan mudahnya jatuh hati dengan Papa. Mama juga pernah bercerita betapa sulitnya bagi Kakek untuk terbuka kepada lelaki yang bertamu ke rumah, meskipun mereka hanya teman biasa bagi Mama, namun Kakek tidak sesulit itu untuk dekat dengan Papa. Begitu mudah jalan mereka untuk mendapatkan restu Kakek dan juga keluarga kedua belah pihak hingga akhirnya pada tanggal 9 September 1994, Mama dan Papa melangsungkan resepsi pernikahan mereka yang sederhana.

Mama pernah bercerita bahwa saat undangan baru disebar, tidak banyak orang yang percaya bahwa Papa dan Mama akan menikah. Alasannya adalah karena kedekatan mereka sama sekali tidak pernah terdengar. Namun, reputasi Papa dan Mama sangat baik saat itu, sehingga hubungan mereka menuai banyak support dan pujian dari rekan-rekan kantor. Bahkan tidak sedikit yang menggoda Papa bahwa ia telah berhasil mendapatkan hati seorang wanita yang saat itu cukup sulit untuk didekati.

Perjalanan rumah tangga mereka dibangun diatas kesederhanaan, kepercayaan, dan komunikasi yang entah bagaimana caranya bisa berlangsung hingga 23 tahun kedepan. Tidak banyak gonjang ganjing dalam rumah tangga mereka yang bisa kurasakan sebagai anak pertama yang mereka besarkan. Menurutku, cara mereka menyelesaikan masalah pun sangat baik. Dalam artian, tidak dengan kekerasan baik verbal maupun fisik. Sedikit banyaknya, hal ini sangat memengaruhiku dan juga adik laki-laki ku terutama dalam preferensi kami untuk memilih tipe pasangan nantinya.

Orang tuaku tidak mungkin melalui 24 tahun masa pernikahan yang lurus-lurus saja. Masalah demi masalah pasti melanda baik itu masalah yang datang karena ego mereka masing-masing, maupun masalah yang datang dari luar (misalnya dari keluarga besar, lingkungan pergaulan, lingkungan kerja, dsb.). Bisakah kau bayangkan susahnya kehidupanmu nanti setelah kau menikah? Masalahmu malah menjadi bertambah, diluar kau harus mengurusi dirimu sendiri, kau juga harus bisa membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh pasanganmu. Jika kau bingung bagaimana cara melewatinya, coba sesekali tanyakan pada orang tuamu. Jawaban mereka tak akan sama. Bahkan mereka pun tidak bisa menjawab bagaimana caranya.

Namun, dibalik semua itu ada hal-hal yang ingin kuambil dan kucoba untuk terapkan dari orang tuaku seperti komitmen dan persistensi mereka dalam memertahankan apa yang telah mereka bangun. Mereka pasti pernah mengalami hari-hari yang sulit, namun sebisa mungkin tetap mengusahakan yang terbaik, tidak hanya untuk mereka berdua, tapi juga untukku, untuk adikku. Mereka bisa saja egois, memenuhi keinginan diri masing-masing, tapi tidak, mereka lebih memilih untuk berkorban, demi pasangannya, demi anaknya, demi keluarganya, demi berlanjutnya suka cita dalam keluarga kecil yang telah mereka bina.

Dari orang tuaku dan usia pernikahan mereka yang sudah 24 tahun ini, aku belajar bahwa salah satu wujud dari cinta yang tulus adalah ketika kamu menjadi selfless, kamu lebih banyak mementingkan kebahagiaan orang lain, meskipun kau butuh menghabiskan banyak waktu, tenaga, pikiran, dan mental untuk menjadi yang terbaik bagi mereka yang kau sayangi, bagi mereka yang kau tetapkan sebagai pilihanmu, dan mereka yang kau besarkan sebagai insan penerus dari kebaikan yang kau tanamkan. Sesimpel itu. Kau menaruh kebahagiaan mereka di atas kebahagiaanmu, dan kau tidak menghitung-hitungnya.

Sulit bagiku untuk mendalami lagi bagaimana orang tuaku tahu bahwa yang menjadi pilihannya adalah orang yang tepat. Mama selalu bilang, orang tersebut datang disaat kau tidak mencari, datang dengan caranya sendiri, dan ketika kau melihatnya, hati kecilmu langsung berdetak penanda bahwa dialah orangnya. Realitanya mungkin sangat sulit bagi kita untuk menemukannya. Bagaimana tidak? Kemungkinannya akan sangat kecil jika setiap hari kau bertemu orang yang baru.

Ternyata jawaban Mama sangat sederhana. Ia bilang padaku, "biarkan Tuhan membantumu, ingat kau tidak pernah sendiri, berdoalah agar ia menjatuhkan hatimu pada orang yang tepat. Sampai kamu menemukannya, mintalah agar hatimu terjaga, agar kamu terlindung dari cinta buta, agar kamu tetap ingat hatimu dijatuhkan atas izin-Nya, jika sudah menemukan orang yang tepat, teruslah mengingat Tuhan dan segala andil-Nya".

Sesederhana itukah Ma, Pa? Aku ingin belajar lebih banyak dari kalian. Suatu hari nanti, aku ingin kalian menyaksikan bahwa aku juga sama - akan menemukan dia yang tidak akan pernah menyerah dengan keadaan, sesulit apapun hidup nantinya.

Sekali lagi,
Selamat Hari Jadi yang ke-24,
My super parents!




-your daughter, who's still learning how to love-

No comments:

Post a Comment